KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, serta shalawat dan salam
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul BUDAYA POLITIK
PARTISIPAN dari tugas Kewarganegaraan
ini dengan tepat pada waktunya.
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati, kami berharap
bagi para pembaca berkenan untuk memberikan kritik dan sarannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Akhir kata kami ucapkan terima
kasih. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita
semua. Amin
Tokaseng, 6 September
2011
Kelompok V
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
........................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
..................................................................
B. Rumusan Masalah .............................................................
C. Tujuan
................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Budaya Politik Partisipan
...............................
B.
Bentuk-Bentuk Budaya Politik
Partisipan ........................
C.
Budaya Politik Yang Bertentangan
dengan Semangat Pembangunan Politik Bangsa ...................................................................
D.
Contoh Budaya Politik Partisipan
dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara..................................................
E.
Contoh Perilaku yang Berperan Aktif
dalam Politik yang Berkembang di Masyarakat ...............................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
........................................................................
B. Saran
...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
........................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya
politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh
masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya,
seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia,
menurut Benedict R. OG Anderson, kebudayaan Indonesia
cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengankelompok massa.
Negara
Indonesia sebagai negara demokratis membutuhkan warga negara yang berbudaya
politik partisipan dan berorientasi setia atau mendukung sistem politik
nasional. Warga negara yang berciri demikian inilah yang memang didutuhkan bagi
sistem politik demokrasi di Indonesia.
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki
peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya
sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam
upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang
bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah).
Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan
penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status
sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan
sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir
selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol
maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau
tidak langsung dengan praktik-praktik politik.
B. Rumusan Masalah
Ø
Jelaskan pengertian budaya politik
partisipan!
Ø
Jelaskan bentuk-bentuk budaya
politik partisipan!
Ø
Jelaskan budaya politik yang bertentangan
dengan semangat pembangunan politik bangsa!
Ø
Jelaskan contoh budaya politik
partisipan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara!
Ø
Jelaskan contoh perilaku yang
berperan aktif dalam politik yang berkembang di masyarakat!
C. Tujuan
Ø
Untuk mengetahui pengertian budaya politik partisipan
Ø
Untuk mengetahui bentuk-bentuk budaya politik partisipan
Ø
Untuk mengetahui budaya politik yang
bertentangan dengan semangat pembangunan politik bangsa
Ø
Untuk mengetahui contoh budaya politik partisipan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara
Ø
Untuk mengetahui contoh perilaku
yang berperan aktif dalam politik yang berkembang di masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Budaya Politik Partisipan
Budaya politik yang
partisipasif adalah budaya politik yang
demokratik, dalam hal ini, akan mendukung terbentuknya sebuah sistem politik
yang demokratik dan stabil. Budaya politik yang demokratik ini menyangkut “suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap,
norma, persepsi, dan sejenisnya, yang menopang terwujudnya partisipasi,” kata
Almond dan Verba.
Masayarakat
dalam budaya politik ini mamahami bahwa mereka berstatus warga negara dan
memberikan perhatian terhadap sistem politik. Masyarakat memiliki kebangsaan
dan kemaua untuk berperam dalam sistem politik. Selain itu, masyarakat dalam
budaya politik imi memiliki keyakinan dapat memengaruhi pengambilan kebijakan
publik dan membentuk kelompok untuk melakukan protes jika pelaksamaa pemerintah
tidak transparan.
Dalam
budaya politik partisipan ini, demokrasi dapat berkembang dengan baik. Hal ini
dikarenakan terjadinya hubungan yang harmonis antara warga negara dan
pemerintah yang ditunjuk oleh tingkat kompetensi politik (penyelesaian sesuatu
secara politik), dan tingkat efficacy (keberdayaan).
Dapat dikatakan bahwa tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi secara
politik.
Dalam
budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap kesulurahan objek,
baik umum, input, maupun output secara pribadinya mendekati satu atau dapat
dikatakan tinggi.
Menurut Bronson dan kawan-kawan dalam bukunya Belajar Civic Education dari Amerika,beberapa karakter publik dan
privat sebagai perwujudan budaya partisipan sebagai berikut:
a.
Menjadi anggota masyarakat yang
independen. Karakter ini meliputi,
1.
Kesadaran pribadi untuk bertanggung
jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dariluar;
2.
Bertanggung jawab atas tindakan yang
di perbuat;
3.
Memenuhi kewajiban moral dan hukum
sebagai anggota masyarakat demokrtis.
b.
Memenuhi tanggung jawab personal
kewargaan dibidang ekonomi dan politik. Tanggung jawab ini antara lain
meliputi:
1.
Memelihara atau menjaga diri;
2.
Memberi nafkah dan merawat keluarga;
3.
Mengasuh dan mendidik anak.
Didalamnya
termasuk pula mengikuti informasi tentang isu-isu publik, seperti:
1.
Menentukan pilihan (voting);
2.
Membayar pajak;
3.
Menjadi juri di pengadilan;
4.
Melayani masyarakat;
5.
Melakukan tugas kepemimpinan sesuai
bakat masing-masing.
c. Menghormati
harkat dan marabat kemanusiaan setiap invidu.
1. Menghormati
orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka.
2. Bersifat
sopan.
3. Menghargai
hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warga negara.
4. Meengikuti
aturan “prinsip mayoritas” namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk
berbeda pendapat.
d. Berpartisipasi
dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. Karakterini
merupakan sadar informasi sebelum :
1. Menentukan
pilihan (voting) atau berpartisipasi dalam debat publik:
2. Terlibat
dalam diskusi yang santun dan serius;
3. Memegang
kendali dalam kepemimpinan bila di
perlukan;
4. Membuat
evaluasi tentang kapan saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warga
negara harus di kesampingkan demi memenuhi kepentingan publik;
5. Mengavaluasi
kapan seseorang karena kewajiban atau prinsip-prinsip konstitusional di
haruskan menolak tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu.
e. Mengembangkan
fungsi demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi:
1. Sadar
informasi dan kepekaan terhadap unsur-unsur publik;
2. Melakukan
penalahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional;
3. Memonitor
keputusan para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik agar sesuai dengan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi;
4. Mengambil
langkah-langkah yang di perlukan bila ada kekurangannya.
Karakter ini
mengarahkan warga negara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal
dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak
bijaksana.
Budaya politik partisipan adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Dalam
budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadapkesluruhan objek
politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya mendekati satu atau
dapat dikatakan tinggi. Berdasar hal ini maka ciri-ciri budaya politik
partisipan adalah sebagai berikut:
a. Anggota masyarakat sangat
partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu
objek politik
b.
Kesadaran
bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis
c. Warga
menyadari akan hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya) dan mampu mempergunakan
hak itu serta menanggung kewajibannya
d.
Tidak
menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin, tetapi dapat
menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input,
output ataupun posisi dirinya sendiri
e. Kehidupan
politik dianggap sebagai sarana trnsaksi seperti halnya penjual dan pembeli.
Warga dapat menerima berdasar kesadaran, tetapi juga mampu menolak berdasarkan
penilaiannya sendiri
B. Bentuk-Bentuk Budaya Politik
Partisipan
Sebagai komunitas warga negara yang
terdidik dan terpelajar,hendaknya kita memiliki peran besar (partisipasi
aktif)untuk melakukan perubahan politik yang lebih baik dan berbudaya. Melalui
sarana pemilihan umum, kita dapat menjadikannya sebagai momentum untuk
mendorong perubahan sosial politik, politik ekonomi, budaya, dan lain-lain ke
arah yang lebih baik dan demokratif melalui pemerintahanyang dipilah melalui
pemilu, secara damai dan beradab (berbudaya). Semua itu dimaksudkan sebagai
upaya melakukan pendidikan budaya politik partisipan (rakyat) yang lebih luas
karena dengan demikian akan dapat digunakan sebagai salah satu rujukan untuk
menentukan pilihan dalam pemilu secara arif, bijaksana, kritis, dan rasional.
Dalam setiap tahapan pemilu, kita
sebagai simpatisan (kader) partai politik, ataupu kaum terpelajar tidak ada
larangan untuk mengikutinya. Namun demikian, hal yang perlu dikedepankan dalam
kampanye adalah situasi damai karena dalam kampanyenya sering kali terjadi
persinggungan antar massa pendukung dari partai politik (simpatisan dan kader)
partai politik. Bermula dari saling mengejek dan saling hina di antara mereka
ketika berpapasan di jalan raya dalam situasi kampanye, perkelahian antar massa
pendukung partai politik seringkali terjadi.
Untuk mewujudkan situasi seperti itu
dibutuhhkan toleransi yang besar terhadap kelompok yang berbeda pandangan
politik dan juga sikap anti kekerasan. Pelajar yang ingin aktif dalam kampanye
harus sadar bahwa tindakan brutal, kekerasan, dan keseluruhan hanya akan
merusak situasi pemilu yang demokratis dan beradab. Untuk itu, kita harus sadar
bahwa brutalisme, kekerasan, dan kerusuhan yang mengiringi proses pemilu
sebenarnya adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai
demokratis dan budaya politik bangsa Indonesia. Albert Camus pernah mengatakan bahwa I’ anarchie est I’abus de la democratie, anarkisme adalah
penyelewengan dari demokrasi.
C. Budaya Politik Yang Bertentangan
dengan Semangat Pembangunan Politik Bangsa
Suatu
pemerintahan dengan budaya politik yang bertentangan dengan semangat
pembangunan politik bangsa yang transparan (terbuka) apabila dalam
penyelenggaraan sistem politik pemerintahannya tidak terdapat kebebasan aliran
informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehigga tidak mudah di akses oleh
masyarakat sebagai warga bangsa yang membutuhkan.
Budaya
politik feodalisme yang terjadi adalah merupakan sebuah sistem pemerintahan
dimana seorang pemimpin bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih
dari kalangan bangsawan,tetapi lebih rendah mereka biasa disebut vazal. Dalam penggunaan bahasa sekalipun,
sering kalli digunakan untuk menunjuk para perilaku-perilaku negatif yang mirip
dengan perilaku para penguasa yang zalim,seperti kolot,selalu ingin di hormati
atau bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak di tinggalkan,artinya
sudah banyak tidak sesuai lagi dengan pengertian politik yang sesungguhnya.
Realitas
budaya politik masih menjadi kendala bagi proses pendidikan politik karena
masih di warnai oleh kuatnya pengaruh nilai-nilai feodalisme,primordialisme,dan
paternalisme berlebihan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kondisi itu di
perparah dengan makin sulitnya mencari figur-figur yang dapat diteladani dalam
kepemimpinan nasional. Keadaan ini di rasakan mempersuli mahasiswa dan kaum
yang terpelajar dalam mengoperasionalkan konsep dan nilai-nilai yang terkandung
dalam khasanah budaya bangsa.
Banyak
kalangan berpendapat, di era Orde Reformasi ini,korupsi,kolusi,dan
nepotisme(KKN) tetap hidup dan bahkan makin berkembang(wajah baru KKN).
Pemilihan pejabat publik, baik di pemerintahan maupun BUMN, masih menggunakan
cara lama; siapa dekat dia dapat. Pertimbangan profesional buakn acuan utama.
Akibat KKN,harta republik telah menjadi “barang jarahan” yang hanya
menguntungkan sedikit orang.
Tindakan KKN memiliki kecendrungan
“terstruktur” dalam kehidupan masyarakat politik. Tentang perubahan struktur
ini, para ilmuan sosial memasuki perdebatan yang melelahkan,bahkan hampir tidak
dapat diselesaikan. Dari kacamata strukturalisme,perilaku individu akan
ditentukan oleh kondisi strukturalnya (structure
conduct performance). Sebaliknya dari kacamata individualisme, struktur
adalah hasil perilaku para aktor politik. Titik tengahnya adalah menganggap
bahwa aksi para individu dan struktur adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan
(dualitas). Aksi individu hanya bisa dipahami dari dan sebaliknya struktur
hanya biasa dijelaskan dari aksi para individunya (Giddens, 1984). Dalam
kacamata strukturasi ini, tiap individu memiliki kebebasan untuk melakukan
aksi, tetapi dalam kerangka “aturan main” tertentu yang memengaruhinya. Dalam
pengertian neoinstitusionalisme, ada “roh” yang memengaruhi cara pandang (sense making) para individu yang akan
menghalangi (contraining) atau mendorong (enabling)
tindakan tertentu. Weick (1979) menyebut lingkungan sosial sebagai sesuatu yang
mendorong (enactment) aksi individu.
Suatu hal yang patut kita sayangkan
adalah hingga saat ini “belum pernah” atau “belum ada” contoh yang baik tentang
penegakan perilaku KKN. Masih banyak birokrat dan pejabat tinggi negara yang terang-terangan
melakukan praktik ini. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila semua orang
berlomba-lomba untuk melakukan hal yang tampaknya bersifat profesional.
Ada beberapa
alasan yang melatarbelakangi orang berperilaku tidak mau melibatkan diri dalam
politik (partisipan). Robert dahl menyebutkan alasan sebagai berikut.
1. Orang mungkin kurang tertarik dalam
politik jika mereka memandang rendah terhadap segala manfaat yang diharapkan
dari keterlibatan politik, dibandingkan dengan manfaat yang akan diperleh dari
berbagai aktivitas lainnya.
2. Orang merasa tidak melihat adanya
perbedaan yang tegas dengan keadaan sebelumnya, sehingga apa yang dilakukan
seorang tersebut tidaklah menjadi persoalan.
3. Seseorang cenderung kurang terlibat
dalam politik jika merasa bahwa tidak ada masalah terhadap hal yang dilakukan,
karena ia tidak dapat mengubah dengan jelas hasilnya.
4. Seseorang cenderung kurang terlibat
dalam politik jika merasa bahwa hasil-hasilnya relatif akan memuaskan orang
tersebut sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.
5.
Jika pengetahuan seseorang tentang
politik tersebut terlalu terbatas untuk dapat menjadi efektif.
6. Semakin besar kendala yang dihadapi
dalam perjalanan hidup, semakin kecil kemungkinan bagi seseorang untuk terlibat
dalam politik.
D. Contoh Budaya Politik Partisipan
dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
- Kritis Memilih Partai Politik, Anggota Parlemen(DPR/DPRD dan DPD)
Sikap kritis dalam pemilu juga harus diarahkan pada
partai politik, calon anggoya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan anggoya
legislatif, mulai dari tingkat pusat sampai dengan kabupaten/kota. Sikap kritis
ini sangat penting karena merekalah yang akan mewakili rakyat Indonesia untuk
memperjuangkan aspirasi politik rakyat. Kritisme pada partai politik siarahkan
pada platform partai politik untuk memperjuagkan aspirasi dan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Dalam sistem proporsional terbuka, rakyatlah yang
berkuasa menentukan kelayakan calin anggota legislatif. Untuk itu, masyarakat pemilih harus melakukan
seleksi dan penyaringan secara ketat terhadap para calin tersebut, baik dari
segi moral maupun kapasitasnya. Jika terdapat calon anggota legislatif tidak
memenuhi persyaratan moral, kewibawaan dan kejujuran (integritas), dapat
dipercaya (kredibilitas), dan memiliki kemampuan/keahlian pada umumnya
(akuntabilitas publik) maka sikap terbaik masyarakat pemilih tentunya adalah
tidak memilih calon tersebut.
Di alam keterbukaan dan informasi ini, rakyat tentunya
dapat mengakses informasi seluas-luasnya tentang perilaku politik seorang calin
anggota legislatif ataupun partai politik. Dengan demikian, rakyat sebenarnya
dapat menentukan secara objektif siapa dan partai apa yang benar-benar
memperjuangkan kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar menjual janji-janji
muluk belaka.
- 2. Kritis Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Kritisme pada pemilihan presiden dan wakil presiden lebih
ditekankan pada kualitas diri calon yang akan dipilih tersebut, baik dari segi
visi kenegaraan, kredibilitas moral, amanah, kapabilitas, maupun kebersihan
dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Okeh karena itu, masyarakat
pemilih perlu mengetahui terlebih dahulu track
record cali presiden dan wakil presiden. Masyarakat pemilih perlu mengikuti
perkembangan informasi melalui media massa dan berbagai sumber informasi lain
uang akurat untuk melakukan pemeriksaam kembali (cross check) tentang kredibilitas moral dan kapabilitas calon
presiden maupun wakil presiden.
- 3. Kritisme dalam Mewujudka Pemilu Luber dan Jurdil
Pemilu yang Luber dan Jurdil merupakan harapan dari
segenap rakyat Indonesia, sekaligus merupakan perwujudan dari pemilu yang
demokratis. Oleh karena itu, sikapa kritis dari pemilih dan warga Idonesia
sengat diperlukan untuk mewujudkan pemilu yang Luber dan Jurdil. Untuk itu
diperlukan persyaratan minimal, di antaranya sebagai berikut.
a) Peraturan
perundangan yang mengatur pemilu harus tidak tidak membuka peluang bagi
terjadinya tindak kecurangan ataupun menguntungkan satu atau beberapa pihak
tertentu.
b) Peraturan
pelaksanaan pemilu yang memuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pemilu
harus tidak membuka peluang bagi terjadinya kecurangan ataupun menguntungkan satu atau beberapa
pihak tertentu.
c) Badan/lembaga
penyelenggara maupun panitia pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah harus
bersifat mandiri dan independen.
d) Partai
politik peserta pemilu memiliki kesiapan yang memadai untuk terlibat dalam
penyelenggaraan pemili, khususnya yang berkaitan dengan kepanitiaan pemilu
serta kemampuan mempersiapkan saksi-saksi di tempat pemungutah suara,
e) Lembaga/organisasi/jaringan
pemamtauan pemilu harus terlibat aktif
dalam suatu proses dan tahapan pemilu di
semua tingkatan di seluruh wilayah pemilihan untuk memantau perkembangan penyelenggaraan
pemilu.
f) Anggota
masyarakat luas, baik secara perorangan dan kelompok maupun yang terhimpun
dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan harus aktif dalam memantau setiap
perkembangan penyelenggaraan pemilu daerah masing-masing.
g) Insan
pers dan media massa harus memberikan perhatian secara khusus pada setiap
penyelenggaraan pemilu.
h) Memupuk
kesadaran politik setiap warga negara supaya semakin sadar akan hak politiknya
dalam pemilu.
E. Contoh Perilaku yang Berperan Aktif
dalam Politik yang Berkembang di Masyarakat
Komunitas
pelajar seharusnya memilliki peran besar untuk melakukan perubahan sosial
politik yang lebih baik. Melalui pemilu, pelajar bisa menjadikannya sebagai
momentun untuk mendorong perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
lain-lain kearah yang lebih baik dengan melalui pemerintahan yang dipilih
melalui pemilu. Selain itu, pemilu harus juga menjadikan momentum yang damai
dan beradap. Semua ini dimaksudkan sebagai upaya melakukan pendidikan politik
rakyat yang lebih luas, karena dengan demikian pelajar sebagai komunitas
terpelajar dan terdidik bisa menjadi salah satu rujukan untuk menentukan
pilihan pemilu secara arif, bijaksan,
krisis, dan rasional.
Berkaitan
dengan kenyataan tersebut, maka keberadaan pelajar sebagai pemilih pemilu perlu
mengambil sikap dan langkah-langkah yang positif dan konstruktif dalam
penyelenggaraan pemilihan umum, antara lain sebagai berikut.
1.
Aktif
tanpa kekerasan dalam pemilihan umum
Pelajar hendaknya
berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan umum, tetapi hindarkan diri dari
kekerasan dan anarkisme massa, ciptakan pemilu yang demokratis, damai, dan
beradap.
2.
Pemilhan
umum sebagai gerakan anti korupsi
Pelajar sebagai
pemilih pemula aktif dan selektif dalam memilih calon pemimpin nasional dan
wakil-wakil yang bersih, agar kelak dalam melaksanakan pemerintahan tidak
melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3.
Anti
terhadap Money PoliticsI
Money
Politics merupakan salah satu bentuk kecurangan
dalam pemilu. Pelajar sebagai pemilih pemula hendaknya menggunakan hati nurani dan
akal pikiran yang sehat ketika menggunakan hak pilihnya di dalam memilih
pemilu.
4. Tidak
mudah dieksploitasi
Pemilu merupakan
salah satu media pembelajaran politik bagi terbentuknya komunikasi politik yang
demokratis dimasa mendatang. Oleh karena itu, pelajar sebagai pemilih pemula
jangan mudah dieksploitasi dalam pemilu untuk kepentingan sesaat kelompok
tertentu.
5.
Tidak
Apatis
Komunitas pelajar
yang memiliki jumlah signifikan jangan bersikapa apatis dalam pemilu. Gunakan
hak pilih dengan menggunakan hati nurani dan akal pikiran yang sehat ketika
memilh wakil-wakil raktyat yang duduk di perlement, presiden dan wakil
presiden, partai politik sebagai kontestan dalam pemilu, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
Budaya
politik yang partisipasif adalah budaya
politik yang demokratik, dalam hal ini, akan mendukung terbentuknya sebuah
sistem politik yang demokratik dan stabil.
Budaya
politik partisipan adalah salah
satu jenis budaya politik bangsa. Dalam budaya politik
partisipan, orientasi politik warga terhadap kesluruhan objek politik, baik
umum, input dan output, maupun pribadinya mendekati satu atau dapat dikatakan
tinggi.
B. Saran
Setiap
warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik. Maka diharapkan kepada warga
negara yang berbudaya politik partisipan dan berorientasi setia atau mendukung
sistem politik nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Bambang S. dan Sugiyarto. 2007. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Untuk SMA/MA Kelas XI
Jutmini sri dan Winarno.2006. PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN Untuk SMA/MA Kelas XI
Tim Edukatif HTS. 2006. Modul
Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Semester Gasal. Surakarta: Penerbit Hayati
Tumbuh Subur
Tim SIMPATI. 2006. LKS
SIMPATI Untuk SMA/MA Semester Ganjil. Surakarta: Penerbit Grahadi
0 komentar:
Posting Komentar