Jumat, 16 November 2012

Alasan Kenapa Indomaret dan Alfamart Selalu Berdekatan



Ada konspirasi terselubung antara pemilik indomaret dan alfamart ?


[Image: indomaret12.jpg]
Djoko menjual kepemilikannya di jaringan Alfa Supermarket kepada Carefour. Selanjutnya dana hasil transaksi itu digunakan Djoko untuk fokus mengelola minimarket Alfamart dan Alfamidi.Di luar dugaan, pertumbuhan Alfamart luar biasa. Saat ini sudahmencapai lebih dari 2.779 gerai, seperti hendak mengimbangi pertumbuhanjumlah gerai Indomaret – pesaing utamanya – yang juga tumbuh pesat.Sejak dirintis 1988, kini jaringan Indomaret mencapai 3.134 gerai.
Sebenarnya selain Alfamart dan Indomaret masihbanyak pemain minimarket lain. Sebut saja Circle K, Starmart, Yomart,AMPM, dan beberapa nama lainnya (termasuk pemain lokal). Namun,yang tampak di mata masyarakat adalah adu kuat antara Alfamart danIndomaret. Maklum, kedua merek minimarket ini sangat agresif menggarappasar hingga ke kawasan perumahan. Saking ketatnya bersaing, merekaseperti tak peduli dengan kedekatan lokasi toko. Dalam radius 10 meter,gampang sekali dijumpai toko Alfamart berhadapan dengan Indomaret.Malahan, di beberapa tempat ada satu gerai Indomaret diapit duaAlfamart. Boleh jadi ini jurus Alfamart untuk menekan Indomaret yangrata-rata gerainya lebih luas dibanding Alfamart.
Alfamart .Saat ini sudah mencapai lebih dari2.779 gerai seperti hendakmengimbangi pertumbuhan jumlah geraiIndomaret- pesaing utamanya yangjuga tumbuh pesat.
Indomaret pun tak mau kalah set dari Alfamart.Tak puas dengan 3.134 gerainya, tahun ini Indomaret berencanamenambahsekitar 900 gerai lagi. Target itu mengalami kenaikan lebih-kurang250gerai dibanding tahun 2008 yang penambahan gerainyaberkisar 650toko.“Kami akan teruskan ke Aceh. Jadi, tahun ini totalgerai kamiakanmenjadi 4.000 an toko. Kami buka di Palembang danBali, “ujarLaurensiusTirta Widjaja, Direktur Pemasaran PT Indomarco Prismatama (IP),pengelola jaringan minimarket Indomaret. Saat ini gerai Indomaret diBali mencapai 50 toko dan di Medan 42 toko. Lauren mengklaim pihaknyaadalah pionir di kedua wilayah itu.
Alfamartbertekadmeningkatkan porsi waralabanya dari 23 % menjadi30 %,sehingga memberpeluang lebih besar pada investor untukmembesarkan Alfamart hingga ke pelosok.
Dalamhal penentuan lokasi gerai Indomaret, metodenya relativefleksibel.DiJakarta misalnya, diplot dulu daerah utara, selatan, baratdantimur.Kemudian dipilah lagi per kecamatan dan kabupaten. Nah, ditiapkecamatan dibuka kesempatan pembukaan dua-tiga toko. Bila dalamperkembangannya kinerja gerai-gerai itu bagus, akan ditambah lagikesempatan pembukaan gerai lainnya. Kendati begitu, manajemen IP tidakasal buka saja, tapi bernegosiasi dulu dengan pemilik waralabaIndomaretyang lama di daerah itu, akankah layak atau tidak apabiladitambahgerai baru lagi.
Laurenmenambahkan sekarang banyak geraiIndomaret yang jaraknyasangatdekat dengan pesaing terdekatnya. “Tapi,bukan kami sesumbar lho.Tokokami tidak bisa head to head dengan satutoko. Sebab mind setorang,Indomaret sudah besar, sehingga tidak bisasatu-satu. Akibatnya,kompetitor membuka dua-tiga toko untuk bersaingdengan satu toko kami,“ungkapnya. “Kalau kami ikut membalas denganmembuka banyak gerai, itukan namanya kanibalisme dan tidak efisien.Kami harus lebih smartdalamhal itu. Apalagi ini bisnis waralaba. Jadikami punyaperhitungan skalaekonominya,“ Lauren menjelaskan.
Meningkatkan pola kerja sama waralabaadalahstrategi lain yang dilancarkan minimarket untuk ekspansi.Dalamhal iniAlfamart bertekad meningkatkan porsi waralabanya dari23%menjadi 30%,sehingga memberi peluang lebih besar pada investoruntukmembesarkanAlfamart hingga ke pelosok. Adapun Indomaret mengakuhendakmeningkatkaninovasi produknya. Salah satunya kinidikembangkan dalahmeluncurkankartu multifungsi. Smart card ini tidakhanya berfungsiuntuk belanja,tapi juga untuk membayar tagihantelepon, listrik,cicilan motor danmobil. Sekadar mengingatkan, saatini jaringanIndomaret yangmenggunakan system waralababerjumlah1.300 gerai.Dengan nilai investasi Rp. 250-300 Jutapergerai, Laurenmenilai, bisniswaralaba ini tidak main-main.Investor dan manajemen IPsendiri mengakuserius mengelolanya,sehingga tingkat kegagalansebagaimana diklaimLauren 5%.
Perkembanganyang menarik jugabisa dilihat dari sisi merek produkyang dijajakan.Rupanya tak hanyahypermarket yang jeli membuat privatelabel.Pengelola Jaringan minimarket punmengembangkanprivate labeluntuk menambah portofolio produknya denganharga miringdibandingproduk serupa dari merek-merek terkenal. “kamijuga punyaprodukdengan merek sendiri, tapi angkanya masih terbilangkecil. Yaitusekitar 4 % dari total stock keeping unit yang jumlahyamencapai 5 ribuitem,“ ujar Heryanto.
Diluar bisnisutamanya, kalangan minimarket juga cukup kreatifmengoptimalkan sumberpendapatan lainnya. Alfamart yang omset tiapgerainya diklaim Henryantorata-rata mencapai Rp 8,5 juta/hari mendapatgross margin kurang-lebih12%. Ada revenue tambahan Alfamart daripenyewaangondola, lapak di teras depan toko, dan listing fee.Sayangnya,petinggi perusahaan ritel yang Januari 2009 lalu go publicitu engganmembeberkan berapa nilai nominal income tambahannya.
Strategi serupa pun ditempuh Indomaret denganmenyewakan gondola atau lapaknya ke mitra bisnis. “Untuk listing fee,masih kami patok di bawah Rp.10 juta per item produk. “ ujar Laurenseraya mengklaim rata-rata omset gerai Indomaret (yang biasanyadikelola8-10 karyawan)per hari mencapai Rp.9-10 juta.
Kedepan,kalangan pelaku bisnis minimarket tampaknya bertekadmelipatgandakanbisnisnya, Indomaret misalnya ingin menjadi one stopshopping danservice. “nanti kami juga akan mengembangkan konseppengiriman uangperson to person dengan memanfaatkan jaringan tokoIndomaret,“ kataLauren menyebut salah satu contoh program masa depan.
Ya,sebagaimana diungkapkan Djoko Susanto, bisnis minimarket itubisnismarathon. Tidak bisa sebuah perusahaan pengelola jaringanminimarketmerasa cukup dengan 100-200 toko, lalu menganggapnya sudahuntung.”Modal akan terus digulirkan untuk ekspansi,” kata founder Alfamart itu.

Ada konspirasi terselubung antara pemilik indomaret dan alfamart Membuat Pedagang Kecil Mati Berdiri

Perkembangan Mini Market Waralaba

Indofood Group merupakan perusahaan pertama yang menjadi pionir lahirnya mini market di Indonesia pada tahun 1988. Kemudian Hero Supermarket mendirikan Starmart pada tahun 1991. Di susul Alfa Group mendirikan Alfa Minimart pada tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi Alfamart. Dalam hitungan tahun, mini market telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu konsumen hanya mengejar harga murah, sekarang tidak hanya itu saja tetapi kenyamanan berbelanja pun menjadi daya tarik tersendiri.

Bisnis mini market melalui jejaring waralaba alias franchise berkembang biak sampai pelosok kota kecamatan kecil. Tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Khususnya mini market dengan brand Indomaret dan Alfamart. Siapa yang tidak kenal Indomaret? Dan siapa yang tidak kenal Alfamart? Anak kecil pun kalau beli permen pasti “nunjuknya” minta ke Indomaret atau ke Alfamart. Kedua merk ini dimiliki oleh group perusahaan raksasa yaitu Indomaret milik PT. Indomarco Prismatama (Indofood Group) dan Alfamart milik perusahaan patungan antara Alfa Group dan PT. HM Sampoerna, Tbk.

Indomaret ternyata berkembang tidak hanya dengan jejaring waralaba yang mencapai 785 gerai, tetapi gerai milik sendiri seabreg jumlahnya mencapai 1072 gerai(lihat grafik perkembangan toko yang diambil dari http://www.indomaret.co.id ). Sedangkan Alfamart berdasarkan penelusuran penulis di http://www.alfamartku.commemiliki 1400 gerai, tidak diperoleh data mengenai jumlah yang dimiliki sendiri dan yang dimiliki terwaralaba.

Bila kita hitung rata-rata nilai investasi minimal untuk mendirikan mini market waralaba sekitar Rp. 300 juta saja (diluar bangunan). Dikalikan dengan 1.072 gerai yang dimiliki sendiri. Berapa ratus milyar PT. Indomarco Prismatama mengeluarkan dana untuk investasi di bisnis mini market? Indofood Group juga ternyata tidak saja pemilik merk Indomaret, tetapi juga mendirikan mini market Omi, Ceriamart, dan Citimart lewat anak perusahaannya yang lain. Belum lagi didukung dengan distribusi barang, bahkan juga sebagai produsen beberapa merk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua dikuasai dari hulu sampai hilir. Dari sabang sampai merauke.

Persaingan Tidak Seimbang

Pasti kita maklum bersama, betapa sengitnya persaingan di bisnis ritel khususnya Indomaret dan Alfamart sebagai market leader mini market. Dengan mengutip kalimat dalam artikel Sektor Ritel Makin Menggiurkan pada Swa Sembada No.01/XX/6-8 Januari 2005 (sumber.www.indomaret.co.id ) bahwa”Yang mungkin sangat sengit persaingannya adalah dalam hal perebutan lokasi. Pastinya setiap pemain memperebutkan lokasi-lokasi yang dinilai strategis. Apalagi di bisnis ini lokasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Perebutan lokasi strategis ini, bisa juga berpengaruh terhadap harga property. Bisa saja harga ruko jadi naik karena tingginya demand terhadap mini market.”

Jadi betapa agresifnya indomaret dan alfamart dalam memperebutkan lokasi yang dinilai strategis. Bahkan hampir di setiap komplek perumahan/pemukiman pasti akan berdiri salah satu mini market waralaba tersebut dan atau keduanya. Sudah tidak mungkin pedagang eceran tradisional akan mampu mencari lokasi strategis lagi untuk saat ini dan di masa mendatang. Jika kita bandingkan dari modal saja, pedagang eceran sudah sulit bergerak.

Selain itu supermarket, toserba, dan bahkan kini ada pasar raksasa bernama hypermarket bermunculan. Baik hypermarket lokal maupun hypermarket dari luar sana. Sekedar ilustrasi mari kita berhitung sejenak, berapa banyak jumlah pasar raksasa tersebut mulai dari jalan Thamrin, Cikokol sampai BSD City di serpong, Tangerang. Di Kota Modern (Modernland) ada Hypermart , lalu hanya sekitar berjarak 1 km berdiri megah Carefour. Berikutnya di Serpong Town Square, kebon nanas berdiri Giant Hypermarket. Kemudian di World Trade Centre (WTC) Matahari, Serpong berdiri kembali Hypermart. Di samping pintu gerbang perumahan Villa Melati Mas, ada lagi Giant Hypermarket. Dan di International Trade Centre (ITC) BSD City ada Carefour. Semua itu jaraknya antara pasar raksasa yang satu dengan pasar raksasa yang lain hanya sekitar 1 km. Luarrr biasa.!

Apalagi jika kita melihat perang harga promosi mini market atau legih gila lagi hypermarket raksasa. Dengan spanduk atau baliho besar bertuliskan nama barang dan harganya yang fantastis rendah. ! Entah banting harga atau memang harga beli mereka yang teramat rendah bila di bandingkan dengan harga beli pedagang eceran kecil bergerai warung atau toko tradisional. Memang tidak semua barang berharga murah, tetapi membanting harga sedemikian rendahnya di bawah harga pasar, membuat miris para pedagang eceran kecil. Masih untung Cuma perang harga!

Dengan tidak bermaksud menggugat cara-cara promosi yang dilakukan oleh para pengelola pasar raksasa tersebut. Penulis hanya ingin mengajak kepada para pengelola pasar raksasa untuk membayangkan sejenak. Bagaimana perasaan pedagang warung dan toko tradisional, ketika ada konsumen bilang “di hypermarket aja harganya sekian???”. Kita tidak menyalahkan konsumen yang punya pemikiran demikian, membandingkan harga di hypermarket dengan di warung atau toko tradisionl. Juga tidak bisa menyalahkan hypermarket dengan promosi harga yang gila-gilaan. Mungkin ini salah satu fenomena globalisasi.

Posisi Pasar Pengecer Tradisional

Melihat dari sisi manapun, posisi pedagang tradisional semakin terjepit. Menjerit. Dan merintih tergilas persaingan bisnis yang tidak seimbang. Bisakah kita membayangkan? Posisi pedagang tradisional yang modalnya hanya semangat berwirausaha dengan sedikit uang puluhan juta. Bersaing dengan mini market waralaba yang modalnya ratusan juta plus jaringan distribusi barang yang sangat baik, didukung system operasional prosedur dan kecanggihan tekhnologi. Ternyata cukup ampuh untuk mematahkan tulang punggung keluarga pedagang eceran tradisonal.

Sekedar urun rembug, perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja tidak mungkin berubah. Konsumen lebih memilih gerai modern untuk berbelanja. Selain konsumen mendapatkan kenyamanan berbelanja, pelayanan yang prima, juga harga barang terkesan murah. Oleh karena itu maka jalan keluar bagi pedagang eceran tradisional adalah merubah gerai menjadi gerai modern mini market mandiri (sendiri), yang bisa dibangun dengan modal di bawah Rp.100 juta. Kemudian berkolaborasi antar mini market mandiri dalam pengadaan barang dagangan. Selanjutnya bla…bla…atur strategi bersaing untuk menghadapi persaingan bisnis ritel agar berkeseimbangan.

Sekali lagi, tidak bermaksud menggugat pola pengembangan usaha dengan jejaring waralaba. Analisa penulis, waralaba sangat baik untuk proses pembelajaran, pemerataan usaha, dan meminimalisir monopoli. Tetapi apa yang terjadi, ternyata gerai mini market lebih banyak dimiliki perusahaan sendiri. Seharusnya perusahaan yang sudah dikembangkan dengan system waralaba tidak perlu lagi mengembangkan sayapnya dengan memiliki gerai sendiri. Tetapi kemudian peraturan perundang-undangannya tidak ada yang melarang untuk hal itu. Semua perusahaan bebas menggurita walaupun pedagang eceran tradisional mati berdiri. Hidup enggan mati tak mau. Mati tak mau tapi sulit bertahan hidup.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar