Ada beberapa teori yang membahas mengenai perkembangan kepribadian dalam
proses sosialisasi. Teori-teori tersebut antara lain Teori Tabula Rasa,
Teori Cermin Diri, Teori Diri Antisosial, Teori Ralph Conton, dan Teori
Subkultural Soerjono Soekanto.
a. Teori Tabula Rasa
Pada tahun 1690, John Locke mengemukakan Teori Tabula Rasa dalam bukunya
yang berjudul “ An Essay Concerning Human Understanding.” Menurut teori
ini, manusia yang baru lahir seperti batu tulis yang bersih dan akan
menjadi seperti apa kepribadian seseorang ditentukan oleh pengalaman
yang didapatkannya.
Teori ini mengandaikan bahwa semua individu pada waktu lahir mempunyai
potensi kepribadian yang sama. Kepribadian seseorang setelah itu
semata-mata hasil pengalaman-pengalaman sesudah lahir (Haviland,
1989:398). Perbedaan pengalaman yang dialami seseorang itulah yang
menyebabkan adanya bermacam-macam kepribadian dan adanya perbedaan
kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Teori tersebut tidak dapat diterima seluruhnya. Kita tahu bahwa setiap
orang memiliki kecenderungan khas sebagai warisan yang dibawanya sejak
lahir yang akan memengaruhi kepribadiannya pada waktu dewasa. Akan
tetapi juga harus diingat bahwa warisan genetic hanya menentukan potensi
kepribadian setiap orang. Tumbuh dan berkembangnya potensi itu tidak
seperti garis lurus, namun ada kemungkinan terjadi penyimpangan.
Kepribadian seseorang tidak selalu berkembang sesuai dengan potensi yang
diwarisinya.
Warisan genetik itu memang memengaruhi kepribadian, tetapi tidak mutlak
menentukan sifat kepribadian seseorang. Pengalaman hidup, khususnya
pengalaman-pengalaman yang diperoleh pada usia dini, sangat menentukan
kepribadian individu.
b. Teori Cermin Diri
Teori Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley.
Teori ini merupakan gambaran bahwa seseorang hanya bisa berkembang
dengan bantuan orang lain. Setiap orang menggambarkan diri mereka
sendiri dengan cara bagaimana orang-orang lain memandang mereka.
Misalnya ada orang tua dan keluarga yang mengatakan bahwa anak gadisnya
cantik. Jika hal itu sering diulang secara konsisten oleh orang-orang
yang berbedabeda, akhirnya gadis tersebut akan merasa dan bertindak
seperti seorang yang cantik. Teori ini didasarkan pada analogi dengan
cara bercermin dan mengumpamakan gambar yang tampak pada cermin tersebut
sebagai gambaran diri kita yang terlihat orang lain.
Gambaran diri seseorang tidak selalu berkaitan dengan faktafakta
objektif. Misalnya, seorang gadis yang sebenarnya cantik, tetapi tidak
pernah merasa yakin bahwa dia cantik, karena mulai dari awal hidupnya
selalu diperlakukan orang tuanya sebagai anak yang tidak menarik. Jadi,
melalui tanggapan orang lain, seseorang menentukan apakah dia cantik
atau jelek, hebat atau bodoh, dermawan atau pelit, dan yang lainnya.
Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri.
1) Imajinasi tentang pandangan orang lain terhadap diri seseorang,
seperti bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di mata orang lain.
2) Imajinasi terhadap penilaian orang lain tentang apa yang terdapat
pada diri masing-masing orang. Misalnya, pakaian yang dipakai.
3) Perasaan seseorang tentang penilaian-penilaian itu, seperti bangga, kecewa, gembira, atau rendah diri.
Meskipun demikian, teori ini memiliki dua kelemahan yang menjadi sorotan
banyak pihak. Apa sajakah itu? Pertama, pandangan Cooley dinilai lebih
cocok untuk memahami kelompok tertentu saja di dalam masyarakat yang
memang berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya.
Misalnya anak-anak belasan tahun, memang peka menerima pendapat orang
lain tentang dirinya. Sedangkan orang dewasa tidak mengacuhkan atau
menghiraukan pandangan orang lain, apabila memang tidak cocok dengan
dirinya. Kedua, teori ini dianggap terlalu sederhana.
Cooley tidak menjelaskan tentang suatu kepribadian dewasa yang bisa menilai tingkah laku orang lain dan juga dirinya.
c. Teori Diri Antisosial
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dia berpendapat bahwa diri manusia mempunyai tiga bagian, yaitu id, superego, dan ego.
1) Id adalah
pusat nafsu serta dorongan yang bersifat naluriah, tidak sosial, rakus, dan antisosial.
2) Ego adalah
bagian yang bersifat sadar dan rasional yang mengatur pengendalian
superego terhadap id. Ego secara kasar dapat disebut sebagai akal
pikiran.
3) Superego adalah
kompleks dari cita-cita dan nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang
serta membentuk hati nurani atau disebut sebagai kesadaran sosial.
Gagasan pokok teori ini adalah bahwa masyarakat atau lingkungan sosial
selamanya akan mengalami konflik dengan kedirian dan selamanya
menghalangi seseorang untuk mencapai kesenangannya. Masyarakat selalu
menghambat pengungkapan agresi, nafsu seksual, dan dorongan-dorongan
lainnya atau dengan kata lain, id selalu berperang dengan superego.
Id biasanya ditekan tetapi sewaktu-waktu ia akan lepas menantang
superego, sehingga menyebabkan beban rasa bersalah yang sulit dipikul
oleh diri. Kecemasan yang mencekam diri seseorang itu dapat diukur
dengan bertitik tolak pada jauhnya superego berkuasa terhadap id dan
ego. Dengan cara demikian, Freud menekankan aspek-aspek tekanan jiwa dan
frustasi sebagai akibat hidup berkelompok.
d. Teori Ralph dan Conton
Teori ini mengatakan bahwa setiap kebudayaan menekankan serangkaian
pengaruh umum terhadap individu yang tumbuh di bawah kebudayaan itu.
Pengaruh-pengaruh ini berbeda antara kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan yang lain, tetapi semuanya merupakan bagian dari pengalaman
bagi setiap orang yang termasuk dalam masyarakat tertentu (Horton,
1993:97).
Setiap masyarakat akan memberikan pengalaman tertentu yang tidak
diberikan oleh masyarakat lain kepada anggotanya. Dari pengalaman sosial
itu timbul pembentukan kepribadian yang khas dari masyarakat tersebut.
Selanjutnya dari pembentukan kepribadian yang khas ini kita mengenal
ciri umum masyarakat tertentu sebagai wujud kepribadian masyarakat
tersebut.
e. Teori Subkultural Soerjono Soekanto
Teori ini mencoba melihat kaitan antara kebudayaan dan kepribadian dalam
ruang lingkup yang lebih sempit, yaitu kebudayaan khusus (subcultural).
Dia menyebutkan ada beberapa tipe kebudayaan khusus yang memengaruhi
kepribadian, yaitu sebagai berikut.
1) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Faktor Kedaerahan
Di sini dijumpai kepribadian yang berbeda dari individuindividu yang
merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, oleh karena masing-masing
tinggal di daerahdaerah yang berlainan dengan kebudayaan khusus yang
berbeda pula.
2) Cara Hidup di Kota dan di Desa yang Berbeda
Ciri khas yang dapat dilihat pada anggota masyarakat yang hidup di kota
besar adalah sikap individualistik. Sedangkan orang desa lebih
menampakkan diri sebagai masyarakat yang mempunyai sikap gotong royong
yang sangat tinggi.
3) Kebudayaan Khusus Kelas Sosial
Dalam kenyataan di masyarakat, setiap kelas social mengembangkan
kebudayaan yang saling berbeda, yang pada akhirnya menghasilkan
kepribadian yang berbeda pula pada masing-masing anggotanya. Misalnya
kebiasaan orang-orang yang berasal dari kelas atas dalam mengisi waktu
liburannya ke luar negeri. Kebiasaan tersebut akan menghasilkan
kepribadian yang berbeda dengan kelas sosial lainnya di masyarakat.
4) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Agama
Agama juga mempunyai pengaruh yang besar untuk membentuk kepribadian
individu. Adanya mazhabmazhab tertentu dalam suatu agama dapat
melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di kalangan anggotaanggota
mazhab yang berlainan itu.
5) Kebudayaan Khusus Atas Dasar Pekerjaan atau Keahlian
Pekerjaan atau keahlian yang dimiliki seseorang juga mempunyai pengaruh
terhadap kepribadiannya. Contohnya kepribadian seorang guru pasti
berbeda dengan militer. Profesi-profesi tersebut mempunyai cara yang
berbeda dalam mendidik anak dan cara bergaul.
0 komentar:
Posting Komentar