Pada bagian ini, kita akan mempelajari suatu perubahan sosial dilihat
dari beberapa perspektif atau sudut pandang yang pernah dilakukan oleh
para ahli sosiologi dan ilmu-ilmu humaniora. Dari beberapa perspektif
itu, akhirnya melahirkan beberapa teori yang diyakini sebagai dasar
berpijaknya para ilmuwan untuk mengungkapkan perjalanan perubahan social
dalam masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak beberapa teori yang diungkapkan
oleh para ahli tersebut sebagai buah perspektif mereka dalam melihat
perubahan sosial dalam masyarakat.
1. Perspektif Evolusi
Perspektif ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan
waktu yang cukup lama atau proses yang cukup panjang. Dalam proses
tersebut terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mencapai
perubahan yang diinginkan. Dari perspektif ini akhirnya melahirkan
bermacam-macam teori tentang evolusi.
Teori tersebut adalah unilinear theories of evolution, universal theories of evolution, dan multilined theories of evolution.
a. Unilinear Theories of Evolution
Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat, termasuk
kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan
tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks, dan
akhirnya sempurna. Pelopor teori ini di antaranya adalah Auguste Comte
dan Herbert Spencer.
b. Universal Theories of Evolution
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui
tahap-tahap tertentu yang tetap. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori
ini adalah bahwa masyarakat merupakan hasil perkembangan dari kelompok
homogeny menjadi kelompok yang heterogen.
c. Multilined Theories of Evolution
Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap tahaptahap
perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya melakukan
penelitian tentang perubahan pola hidup dari masyarakat tradisional yang
memiliki pola piker religio-magic ke masyarakat industri yang memiliki
pola piker realistis-praktis.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt berpendapat bahwa ada beberapa
kelemahan dalam Teori Evolusi yang perlu mendapat perhatian, di
antaranya adalah sebagai berikut.
a. Data yang menunjang penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat
menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali tidak cermat. Dengan
demikian tahap perkembangan suatu masyarakat ditentukan sesuai dengan
tahapan yang paling cocok dengan teori ini.
b. Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas,
karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan
tertentu dan langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain
melompati suatu tahapan. Sebaliknya, ada pula kelompok masyarakat yang
justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang diinginkan oleh teori
ini.
c. Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan berakhir pada
puncaknya ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang
seluas-luasnya, sepertinya perlu ditinjau ulang. Hal ini karena jika
perubahan memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa
setiap urutan tahapan perubahan akan mencapai titik akhir.
2. Perspektif Konflik
Perspektif ini menjelaskan bahwa pertentangan atau konflik bermula dari
pertikaian kelas antara kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan
dengan kelompok yang tertindas secara materiil, sehingga akan mengarah
pada perubahan sosial. Sumber yang paling penting dalam perubahan sosial
menurut perspektif ini adalah konflik kelas sosial di dalam masyarakat.
Perspektif ini memiliki prinsip bahwa konflik sosial dan perubahan
sosial merupakan dua hal yang selalu melekat pada struktur masyarakat.
Perspektif ini menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap ada dalam
suatu masyarakat adalah konflik sosial, bukan perubahan sosial. Mengapa?
Karena perubahan hanyalah akibat dari adanya konflik sosial yang
terjadi di masyarakat. Mengingat konflik berlangsung terus-menerus, maka
perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh yang pemikirannya menjadi
pedoman dalam perspektif konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf
Dahrendorf.
Secara umum, perspektif konflik berpandangan bahwa perubahan sosial di masyarakat terjadi karena faktor-faktor berikut ini.
a. Setiap masyarakat terus-menerus berubah.
b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang perubahan masyarakat.
c. Setiap masyarakat biasanya berada dalam ketegangan dan konflik.
d. Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap golongan yang satu oleh golongan yang lainnya.
3. Perspektif Fungsionalis
Konsep yang berkembang dari perspektif ini adalah cultural lag
(kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung perspektif fungsionalis untuk
menjelaskan bahwa pada dasarnya perubahan sosial itu tidak lepas dari
hubungan antara unsurunsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut
perspektif ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan
sangat cepat, sementara unsur yang lainnya berubah sangat lambat,
sehingga tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsure yang berjalan
sangat cepat tersebut.
Unsur yang berubah sangat cepat umumnya yang berhubungan dengan
kebudayaan materiil, sedangkan unsur yang berubah secara perlahan atau
lambat adalah unsur yang berhubungan dengan kebudayaan nonmateriil.
Dengan demikian, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah
secara perlahan tersebut. Akibatnya muncul kesenjangan sosial dalam
masyarakat atau yang dikenal dengan istilah cultural lag.
Misalnya pengrusakan terhadap telepon umum. Telepon umum sebagai
fasilitas umum sangat efektif untuk melakukan komunikasi, sehingga sudah
selayaknyalah dirawat dan dijaga. Kenyataannya, banyak telepon umum
yang justru dirusak oleh masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
dalam masyarakat terjadi cultural lag, di mana alam pikiran manusia
(nonmateriil) tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan atau
kemajuan teknologi (materiil).
Para penganut perspektif ini lebih menerima perubahan sosial sebagai
sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap
sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses
pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan
dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat maka dapat
dikatakan bahwa perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima
oleh masyarakat, tetapi jika terbukti disfungsional atau tidak
bermanfaat, maka perubahan itu akan ditolak. Tokoh dari perspektif ini
adalah William Ogburn.
Pandangan perspektif fungsionalis dalam melihat suatu perubahan sosial dalam masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.
b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.
c. Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.
d. Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok masyarakat.
4. Perspektif Siklis
Menurut perspektif ini, suatu perubahan sosial itu tidak dapat
dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun. Hal ini karena
dalam setiap masyarakat sudah terdapat perputaran atau siklus yang harus
diikutinya. Perspektif ini berpandangan bahwa kebangkitan dan
kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial merupakan hal yang
wajar dan tidak dapat dihindari. Oleh karena itu tidak menutup
kemungkinan suatu perubahan sosial itu akan membawa kemunduran, atau
sebaliknya perubahan sosial akan membawa ke arah yang lebih baik.
Adapun beberapa bentuk Teori Siklis yang lahir dari perspektif ini adalah sebagai berikut.
a. Teori Oswald Spengler (1880–1936)
Menurut Spengler, setiap peradaban besar itu mengalami proses pentahapan
mulai dari kelahiran, pertumbuhan, dan akhirnya keruntuhan. Proses
siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun.
b. Teori Pitirim A. Sorokin (1889–1968)
Dalam teorinya, Sorokin berpendapat bahwa semua peradaban besar itu
berada dalam siklus tiga system kebudayaan yang berputar tanpa akhir.
Siklus tiga system kebudayaan ini adalah sebagai berikut.
1) Kebudayaan ideasional, yaitu kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
2) Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap
unsur adikodrati (supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta
bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal.
3) Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
c. Teori Arnold Toynbee (1889–1975)
Peradaban besar menurut pandangan Toynbee berada dalam siklus kelahiran,
pertumbuhan, keruntuhan, dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban
besar menurut Toynbee telah mengalami kepunahan, kecuali peradaban Barat
yang dewasa ini beralih menuju ke tahap kepunahannya.
0 komentar:
Posting Komentar